Beranda | Artikel
Hukum-hukum Seputar Tahiyatul Masjid
Senin, 17 Oktober 2022

HUKUM-HUKUM SEPUTAR TAHIYATUL MASJID

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam atas Nabi terakhir yang tidak ada lagi nabi setelahnya. Yang senantiasa beribadah kepada Tuhan-nya sebagaimana yang diwajibkan dan yang menunjukkan umatnya kepada syariat yang sempurna. Adapun selanjutnya :

Sesungguhnya orang yang memperhatikan kenyataan saat ini akan mendapatkan bahwa kebanyakan dari mereka yang beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, begitu peduli dengan ibadah maaliah (yang bersifat materi) dan badaniah (fisik). Hanya saja sebagiannya atau boleh dikatakan kebanyakannya awam dengan hukum-hukum (aturan) ibadah tersebut. Baik itu ibadah badaniah seperti shalat dengan berbagai ragamnya atau ibadah maaliah seperti zakat atau juga haji.

Oleh karena itu Engkau dapati di antara mereka ada yang tidak mengetahui ibadah kecuali hanya sifat dan gerakannya saja. Bila menemui sedikit kendala hukum syar’i sehingga bingung dan galau, barulah mencari orang alim (ulama) atau mufti untuk dihilangkan kendalanya hingga selesailah apa yang menjadi permasalahnya.

Meskipun (bertanya kepada ulama) adalah suatu keharusan, tetapi yang semustinya sebagai pemeluk Islam adalah memiliki pengetahuan mengenai hukum-hukum tersebut, agar mendapati keutamaan seperti yang telah disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْراً يُفَقِّهُ فِي الدِّيْنِ

“Siapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, Allah fahamkan dia dalam urusan agama.” [1]

Agar beribadah kepada Allah di atas ilmu dan petunjuk.
Sudah barang tentu hal ini tidak dapat dicapai oleh sebagian orang. Namun sebagai bentuk kepedulian akan penyebaran ilmu, mengharap keutamaannya serta mengingat banyaknya perkara-perkara (yang musti dibahas), maka saya meminta pertolongan kepada Allah, pemilik ilmu dan keutamaan untuk meneliti sebagian masail (perkara-perkara) dengan mengumpulkan hukum-hukum (yang terkait dengannya) yang ditujukan untuk setiap muslim dengan metode yang mudah, sederhana dan ringkas. Bersandar kepada dalil syar’i dan berpedoman pada penelitian para ahli ilmu (ulama) guna menyingkronkan antara masail (perkara-perkara) dan hukum-hukumnya. Sekaligus menyertakan catatan kaki yang menunjukkan sumber-sumber penukilan bagi siapa yang ingin menggali lebih dalam dan mengeceknya.

Diantara tema-tema tersebut adalah Tahiyatul Masjid yang dengannya kita beribadah kepada Allah. Memohon kepada Allah pertolonggan dan ketepatan agar menunjukkan saya kepada jalan hak dan kebenaran.

Ya Allah, tunjukkan kami kepada amal dan akhlak yang terbaik, karena sesungguhnya tidak ada yang dapat menunjukkan kepada yang terbaik selain Engkau. Dan jauhkan kami dari keburukan, sesungguhnya Engkau Mahamendengar dan Mahamengabulkan doa.

Penjelasan Mengenai Hukum Tahiyatul Masjid

Pengertian Tahiyatul Masjid Dan Penjelasan Hukumnya
Shalat Tahiyatul masjid jumlahnya dua rakaat. Dikerjakan oleh orang yang masuk ke dalam masjid. Hukumnya sunnah secara Ijma (kesepakatan) bagi orang yang masuk masjid. Yang demikian menurut keumuman berita-berita (yang sampai).[2]

Siapa Yang Dikecualikan Mengerjakan Tahiyatul Masjid?
Khatib jumu’at (penceramah jum’at) dikecualikan (dari melakukan dua rakaat tahiyatul masjid) jika dia masuk untuk berkhutbah jumu’at.  Demikian pulu qoyyum al-Masjid yaitu orang yang mengurus masjid karena sering keluar-masuk masjid sehingga dapat memberatkannya. Juga tidak disunnahkan bagi orang yang masuk masjid ketika imam sedang melaksanakan shalat maktubah (shalat wajib yang lima waktu) atau setelah iqomat shalat dikumandangkan, karena shalat wajib telah menggantikan tahiyatul masjid.[3]

Sebagian ulama berpendapat istihbab (disukainya) mengulang-ulang tahiyatul masjid setiap kali masuk masjid. Pendapat ini diambil oleh an-Nawawi dan dipilih oleh Syaikh Islam Ibnu Taymiah, yang juga merupakan pendapat kuat Madzhab Hanbali.[4]

As-Syaukani rahimahullaht berpendapat bahwa tahiyatul masjid disyari’atkan meskipun acap kali keluar-masuk masjid sebagaimana zahir hadits.[5]

Wallahu a’lam.

Hikmah Disyari’atkannya Tahiyatul Masjid
Tahiyatul masjid tergolong sebagai penghormatan terhadap masjid. Seolah menduduki ungkapan salam ketika masuk ke suatu tempat, sebagaimana seorang yang memberi salam kepada sahabatnya ketika bertemu.

An-Nawawi rahimahullah berkata, “Sebagian yang lain mengibaratkannya dengan memberi salam kepada pemilik masjid. Karena maksud dilakukannya tahiyatul masjid adalah mendekatkan diri kepada Allah, bukan kepada masjid; sebab seseorang yang masuk ke rumah orang lain, yang diberi salam adalah pemiliknya bukan rumahnya.[6]

Perkara-Perkara Terkait Tahiyatul Masjid
Perkara pertama: Tahiyatul masjid disyari’atkan disetiap waktu, karena ia termasuk zawaatul asbab (ibadah yang terkait dengan sebab). Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikh Islam Ibnu Taymiah dan dikatakan oleh Majduddin Abu al-Burkan, Ibnu al-Jauzi dan selain mereka.[7]

Pendapat ini juga yang dipilih oleh syaikh kami Muhammad bin Utsaimin dan dia menshahihkannya[8] juga Syaikh Ibnu Baz.[9]

Perkara kedua: Waktu mengerjakan tahiyatul masjid adalah ketika masuk masjid sebelum duduk.  Jika dia sengaja duduk dan menyadarinya, tidak disyari’atkan baginya kembali berdiri untuk mengerjakan shalat tahiyatul masjid karena waktunya telah usai.

Perkara ketiga: Seseorang yang masuk masjid karena tidak tahu atau lupa langsung duduk sebelum shalat tahiyatul masjid, disyari’atkan baginya berdiri dan melaksanakan dua rakaat tahiyatul masjid, karena bagi yang berudzur waktunya belum berlalu, dengan syarat antara duduk dan shalatnya tidak berselang lama.[10]

Perkara keempat: Hukum melaksanakan tahiyatul masjid adalah sunnah, berbeda dengan mereka yang mengatakan wajib. An-Nawawi menyampaikan ijma (kesepakatan ulama) akan hal itu. [11]

Perkara kelima: Ketika seseorang masuk masjid dan muadzin sedang mengumandangkan adzan, yang disyari’atkan baginya adalah menjawab seruan adzan dan mengakhirkan pelaksanaan tahiyatul masjid agar mendapatkan keutamaan menjawab seruan adzan. Namun jika masuk masjid pada hari jum’at dan adzan khutbah (adzan kedua) telah dimulai, hendaknya mendahulukan tahiyatul masjid daripada menjawab seruan adzan, karena mendengar khutbah lebih penting.[12]

Perkara keenam: Siapa yang masuk masjid pada hari jum’at dan imam sedang berkhutbah, disunnahkan baginya melakukan shalat dua rakaat tahiyatul masjid dan meringankannya (tidak memanjangkan). Makruh (dibenci) jika meninggalkannya.[13] Hal ini sebagaimana hadits:

فَلاَ يَجْلِس حَتَّى يُصَلّيِ رَكْعَتَيْنِ

“Janganlah duduk sebelum melakukan shalat dua rakaat.”[14]

Dan hadits:

فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلِيَتَجَوَّز فِيْهِمَا

“Hendaklah melakukan shalat dua rakaat dan meringankan keduanya (tidak memanjangkannya).”[15]

Adapun jika khatib sudah hampir selesai dari khutbahnya, dan orang yang masuk yakin jika dia melaksanakan shalat tahiyatul  masjid dia tidak akan mendapat rakaat pertama shalat jumu’at, maka hendaknya berdiri sampai dikumandangkan iqomat shalat dan tidak duduk, agar jangan sampai duduk sebelum shalat tahiyatul masjid.

Perkara ketujuh: Tahiyatul masjid untuk Masjid alHaram (Mekkah) adalah Towaf menurut kebanyakan ahli fiqih. An-Nawawi berkata: “Tahiyatul Masjid alHaram adalah Towaf bagi mereka yang datang, adapun bagi mereka yang mukim (tinggal di Mekkah) baik Masjid al-Haram atau masjid yang selainnya adalah sama.[16]

Boleh jadi maksud (perkataan an-Nawawi) adalah bagi mereka yang tidak bermaksud melakukan Towaf. Adapun bagi mereka yang ingin Towaf, maka towafnya itu sudah menggantikan dua rakaat tahiyatul masjid. Ini lah pendapat yang benar.[17]

Perkara kedelapan: Shalat sunnah raatibah qobliah[18] sudah menggantikan tahiyatul masjid. Karena maksud dari tahiyatul masjid adalah agar orang yang masuk masjid memulai dengan shalat, dan itu sudah terdapat pada shalat sunnah raatibah yang dilakukannya. Jika dalam shalatnya dia berniat melakukan shalat tahiyatul masjid dan sunnah raatibah atau tahiyatul masjid dan shalat fardhu (shalat wajib yang lima waktu), maka dia telah mendapat semuanya. An-Nawawi berkata: “Tidak ada yang menyelisihi pendapat ini.”[19]

Perkara kesembilan: Tahiyatul masjid tidak cukup hanya dengan satu rakaat. Tidak pula tergantikan oleh shalat jenazah, sujud tilawah atau sujud sukur.[20]

Perkara kesepuluh: Jika imam masjid mencukupkan diri dengan shalat maktubah[21] dari pada mengerjakan tahiyatul masjid (ketika masuk masjid) karena dekatnya waktu iqomat shalat, hal itu sudah cukup.[22]

Dari Jabir bin Samuroh, dia berkata, “Dahulu Bilal menyerukan adzan jika matahari telah tergelincir sampai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar[23]. Ketika Nabi keluar Bilal segera menyerukan iqomat seketika melihat beliau.[24]

Apabila imam ingin duduk, disyari’at melakukan shalat tahiyatul masjid seperti yang lainnya. Sebagaimana keumuman dalil-dalil yang ada[25].

Didalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِذاَ دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلاَ يَجْلِسُ حَتىَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ

“Jika salah seorang di antara kalian masuk ke dalam masjid, maka janganlah duduk sampai melaksanakan shalat dua rakaat.”[26]

Jika melaksanakan shalat di tempat terbuka, maka tidak ada shalat tahiyatul masjid,[27] kecuali jika singgah di suatu masjid dalam perjalanannya. Pada saat itulah dia boleh melakukannya. Jika diniatkan tahiyatul masjid dan shalat faridhah secara bersamaan hal itu lebih benar.

Perkara kesebelas: Tidak disyari’atkan bagi imam melakukan shalat tahiyatul masjid sebelum shalat Jum’at atau shalat ‘Id. Hendaknya memulai dengan khutbah ketika Jum’at[28] dan dengan shalat ketika ‘Id (pada hari ‘Id), karena demikianlah yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sedangkan makmum disyari’atkan melakukan tahiyatul masjid[29] di tempat penyelenggaraan shalat ‘Id sebelum duduk, sebagaimana keumuman dalil-dalil yang ada. Sama saja apakah shalat ‘Id dilaksanakan di masjid atau di mushola, karena tempat itu dihukumi seperti masjid.

Hal ini sebagaimana dalil yang terdadpat pada hadits Ummu ‘Athiah –semoga Allah meridoinya-, dia berkata,

أُمِرْنَا أَنْ نُخْرِجَ اَلْعَوَاتِقَ, وَالْحُيَّضَ فِي الْعِيدَيْنِ; يَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ اَلْمُسْلِمِينَ, وَيَعْتَزِلُ اَلْحُيَّضُ اَلْمُصَلَّى

Nabi memerintahkan kami para gadis dan yang haidh agar keluar menghadiri pelaksanaan shalat dua hari raya (‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha) untuk menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin, dan bagi yang haidh hendaknya berada diluar mushala.[30]

Atas dasar inilah Syahikh kami, Muhammad bin Utsaimin berpendapat, yang juga merupakan pendapat Madzhab Syafi’i[31] dan dishahihkan oleh penulis al-Inshaf dan al-Furuu’[32].

Perkara kedua belas: Disunnahkan bagi yang telah selesai mengerjakan shalat faridhah (di tempatnya) kemudian datang ke suatu masjid yang sedang melaksanakan shalat berjamaah agar ikut melakukan shalat bersama mereka. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذاَ صَلَيْتُمَا فِي رِحَالِكُمَا ثُمَّ أَتَيْتُمَا مَسْجِدَ جَمَاعَةٍ فَصَلَيَا مَعَهُمْ، فَإِنَّهَا لَكُمَا نَافِلَةٌ

“Jika kalian berdua telah melaksanakan shalat ditempat kalian, kemudian datang ke masjid (yang sedang melaksanakan shalat) jamaah, maka shalatlah bersama mereka, karena sesungguhnya shalat kalian itu adalah nafilah (ibadah sunnah[33]

Dengan demikian, shalat faridhah yang dilakukannya cukup menggantikan tahiyatul masjid, dan itu terhitung sebagai ibadah nafilah (sunnah). Sedang shalat wajibnya adalah yang dia kerjakan pertama kali ditempatnya, karena dengan shalat pertama itulah dia telepas dari kewajiban.

Perkara ini banyak terjadi pada masjid yang diselenggarakan disitu shalat jenazah, pengajian dan sebagainya.

Barang siapa yang shalat bersama imam hendaknya menyempurnakan shalatnya, sebagaimana keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا

“Apa yang kalian dapatkan (dari rakaat) maka (lanjutkan) shalat kalian, dan apa yang luput dari kalian, maka sepurnakanlah.” [34]

Yang demikian ini lebih utama.

Jika dia hanya mendapatkan dua rakaat bersama imam, boleh salam (menyelesaikan shalatnya) bersama imam. Adapun jika kurang dari itu, yang sunnah adalah menyempurnakannya menjadi dua rakaat lalu salam.[35]

Jika dia duduk setelah masuk masjid atau menunggu sampai usainya shalat berjamaah hal itu adalah menyelisihi sunnah dan menunjukkan kebodohan orang yang bersangkutan.

Kita meminta kepada Allah agar mengajarkan kita ilmu yang bermanfaat dan memberi manfaat dengan ilmu yang telah kita pelajari, karena sesungguhnya Dia pemilik kemurahan dan kemulian. Amin.

Shalawat dan salam atas Nabi kita Muhammad, keluarga dan seluruh sahabatnya.

[Disalin dari أحكام تحية المسجد Penulis Muhammad bin Shalih al-Khuzaim, Penerjemah : Syafar Abu Difa, Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2009 – 1430]
______
Footnote
[1] Hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim.
[2] Lihat Fathul al-Baary 2/407.
[3] Subul as-Salam 1/320.
[4] Al-Majmu 4/75.
[5] Nail al-Authar 3/70.
[6] Hasyiah Ibnu Qoosim 2/252.
[7] Lihat al-Inshoof 2/802, Al-Muharror 1/86, Nail al-Authaar 3/62 dan Al-Fatawa oelh Ibnu Taymiah 23/219.
[8] Lihat As-Syarh al-Mumti’ 4/179.
[9] Lihat Fatawa Muhimmah yang berhubungan dengan shalat.
[10] Lihat Fath al-Baary 2/408.
[11] Nail al-Authaar 3/68.
[12] Al-Inshaf 1/427.
[13] Al-Fatawa oleh Ibnu Taymiah 23/219.
[14] Diriwayatkan oleh al-Bukhari no.1163, Muslim no.714.
[15] Hadits riwayat al-Bukhari no.931 dan Muslim no.875.
[16] Fath al-Baary 2/412.
[17] Lihat Hasyiah Ibnu al-Qoosim 2/487.
[18] Shalat sunnah yang mengikuti shalat wajib yang dikerjakan sebelumnya.
[19] Lihat Kasysyaf al-Qonaa’ 1/423.
[20] Lihat Kasysyaf al-Qonaa’ 1/424.
[21] Shalat wajib yang lima waktu.
[22] Subul as-Salaam no.1329.
[23] Keluar dari rumahnya berarti masuk ke dalam masjid, karena rumah Nabi r bersebelahan dengan masjid.
[24] Hadits riwayat Muslim dan Abu Dawud.
[25] Lihat perkara berikutnya.
[26] Hadits riwayat al-Bukhari no.444 dan Muslim no.764.
[27] Al-fawakih al-A’didah 1/99.
[28] Lihat al-Majmu 4/448.
[29] Telah dibahas mengenai shalat tahiyatul masjid bagi makmum.
[30] Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari no.324 dan Muslim no.890.
[31] As-Sarh al-Mumti’ 5/205.
[32] Lihat al-Inshaf 1/246.
[33] Hadits riwayat at-Turmudzi no.219.
[34] Hadits dikeluarkan oleh al-Bukhari no.636 dan Muslim no.602.
[35] Asy-Syarh al-Mumti’ 4/220.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/62225-hukum-hukum-seputar-tahiyatul-masjid.html